Reporter : Nella Rachma
suarabojonegoro.com - "Dengan bantuan langsung dua juta rupiah peranak, mereka mampu membayar SPP. Anak anak Bojonegoro seharusnya tidak ada lagi yang tidak sekolah SLTA, kita bikin anak anak mampu menjangkau biaya pendidikannya."
Soal sekolah gratis atau terjangkau?
Pertanyaan itulah yang Bupati Bojoengoro, Kang yoto pikirkan saat pertama kali mengetahui angka partisipasi sekolah SLTP dan SLTA di Bojonegoro rendah. Saat itu tahun 2007 di beberapa kab/kota sudah menerapkan sekolah gratis. Dan Bojonegoro lebih memilih pendekatan sekolah terjangkau, bukan gratis. Pertama, di lima tahun pertama jabatan Kang Yoto sebagai Bupati anggaran pemerintah pada saat itu sangat jauh dari cukup, fokus utamanya ada pada pembangunan infrastruktur jalan, pertanian, kesehatan dan pendidikan. Kedua, jumlah sekolah swasta di Bojonegoro banyak, menurutnya kalau harus gratis tidak boleh hanya sekolah negeri saja, sementara yang swasta tetap bayar. Ketiga, di Bojonegoro sudah ada sekolah yang karena usianya memiliki reputasi unggulan, para orang tua dengan suka rela mau membayar segala upaya peningkatan proses belajar mengajar. Keempat, pemberian Bos dalam jumlah besar yang membuat sekolah mampu menutup biaya operasionalnya sehingga tidak perlu lagi menarik siswa alias sekolah gratis, namaun dalam praktiknya membawa masalah terutama soal perbedaan kebutuhan biaya masing-masing sekolah desa kota yang selama ini berbeda.
Disisi lain, dengan sekolah gratis menurut Kang Yoto ada kecenderungan yang merugikan dunia pendidikan yaitu, peningkatan pendirian sekolah baru dan praktik bully sebagian guru kepada murid dengan alasan sekolah gratis yang membuat posisi murid menjadi lemah. Lalu bagaimana agar semua anak Bojonegoro usia 16 - 18 tahun dapat kesempatan belajar di SLTA? Pemerintah lebih memilih bantuan langsung kepada anak-anak yang masih bersekolah lewat Pemerintah desa. Tahun 2015 sebagai uji coba bantuan kami istilahkan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan yang diberikan sebesar 500 ribu rupiah persiswa, dan 2 juta rupiah persiswa di tahun 2016/2017. Lewat bantuan langsung ini anak anak jadi punya uang untuk membayar sekolah, di manapun sekolahnya, negeri atau swasta. Dengan melibatkan pemdes dan masyarakat maka anak anak mendapatkan kontrol apabila tidak sekolah, anak anak menjadi lebih percaya diri di depan guru karena membayar biaya pendidikan, sekolah negeri maupun swasta akhirnya berlomba memberikan layanan yang terbaik, dan tidak masalah bila anak sekolah ke luar Bojonegoro.
Lebih bersyukur lagi saat pengelolaan SLTA dipindah dari kabupaten dan kota ke Propinsi, issue sekolah gratis atau membayar tidak lagi relevan diperbincangkan di Bojonegoro. Kini tanggung jawab Propinsi memberikan layanan pendidikan SLTA terbaik, sementara pemkab fokus untuk membuat warganya mampu sekolah. (hum/lis)
suarabojonegoro.com - "Dengan bantuan langsung dua juta rupiah peranak, mereka mampu membayar SPP. Anak anak Bojonegoro seharusnya tidak ada lagi yang tidak sekolah SLTA, kita bikin anak anak mampu menjangkau biaya pendidikannya."
Soal sekolah gratis atau terjangkau?
Pertanyaan itulah yang Bupati Bojoengoro, Kang yoto pikirkan saat pertama kali mengetahui angka partisipasi sekolah SLTP dan SLTA di Bojonegoro rendah. Saat itu tahun 2007 di beberapa kab/kota sudah menerapkan sekolah gratis. Dan Bojonegoro lebih memilih pendekatan sekolah terjangkau, bukan gratis. Pertama, di lima tahun pertama jabatan Kang Yoto sebagai Bupati anggaran pemerintah pada saat itu sangat jauh dari cukup, fokus utamanya ada pada pembangunan infrastruktur jalan, pertanian, kesehatan dan pendidikan. Kedua, jumlah sekolah swasta di Bojonegoro banyak, menurutnya kalau harus gratis tidak boleh hanya sekolah negeri saja, sementara yang swasta tetap bayar. Ketiga, di Bojonegoro sudah ada sekolah yang karena usianya memiliki reputasi unggulan, para orang tua dengan suka rela mau membayar segala upaya peningkatan proses belajar mengajar. Keempat, pemberian Bos dalam jumlah besar yang membuat sekolah mampu menutup biaya operasionalnya sehingga tidak perlu lagi menarik siswa alias sekolah gratis, namaun dalam praktiknya membawa masalah terutama soal perbedaan kebutuhan biaya masing-masing sekolah desa kota yang selama ini berbeda.
Disisi lain, dengan sekolah gratis menurut Kang Yoto ada kecenderungan yang merugikan dunia pendidikan yaitu, peningkatan pendirian sekolah baru dan praktik bully sebagian guru kepada murid dengan alasan sekolah gratis yang membuat posisi murid menjadi lemah. Lalu bagaimana agar semua anak Bojonegoro usia 16 - 18 tahun dapat kesempatan belajar di SLTA? Pemerintah lebih memilih bantuan langsung kepada anak-anak yang masih bersekolah lewat Pemerintah desa. Tahun 2015 sebagai uji coba bantuan kami istilahkan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan yang diberikan sebesar 500 ribu rupiah persiswa, dan 2 juta rupiah persiswa di tahun 2016/2017. Lewat bantuan langsung ini anak anak jadi punya uang untuk membayar sekolah, di manapun sekolahnya, negeri atau swasta. Dengan melibatkan pemdes dan masyarakat maka anak anak mendapatkan kontrol apabila tidak sekolah, anak anak menjadi lebih percaya diri di depan guru karena membayar biaya pendidikan, sekolah negeri maupun swasta akhirnya berlomba memberikan layanan yang terbaik, dan tidak masalah bila anak sekolah ke luar Bojonegoro.
Lebih bersyukur lagi saat pengelolaan SLTA dipindah dari kabupaten dan kota ke Propinsi, issue sekolah gratis atau membayar tidak lagi relevan diperbincangkan di Bojonegoro. Kini tanggung jawab Propinsi memberikan layanan pendidikan SLTA terbaik, sementara pemkab fokus untuk membuat warganya mampu sekolah. (hum/lis)
from SuaraBojonegoro.Com | Bojonegoro Online Portal & News | Kabar Lokal Untuk Nasional http://ift.tt/2jOSb1f
0 komentar:
Posting Komentar