CIBINONG–RADAR BOGOR,Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor harus berpikir keras untuk mewujudkan rata-rata lama sekolah (RLS) sembilan tahun. Sebab, angka partisipasi kasar (APK) di Kabupaten Bogor masih minim.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pembangunan (Bappedalitbang) Kabupaten Bogor mencatat, anak usia rata-rata SMP tercatat sekitar 1,06 juta jiwa. Namun, 40 persen di antaranya atau sekitar 477 ribu jiwa justru tidak sekolah.
”APK pendidikan menengah baru 60 persen,” ujar Bupati Bogor Nurhayanti.
Ia melanjutkan, intervensi anggaran yang dilakukan Pemkab Bogor terhadap dunia pendidikan sudah cukup tinggi. Dia bahkan mengklaim menjadi yang tertinggi se-Jawa Barat. Dari porsi belanja langsung dalam APBD saja, rata-rata digelontorkan berkisar Rp1-1,5 triliun per tahunnya untuk pendidikan.
”Jika partisipasinya rendah, kembali lagi pada masyarakatnya, kesadaran untuk mengenyam pendidikan tinggi harus dibangun. Karena pemerintah sudah menyiapkan fasilitas,” katanya lagi.
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bogor TB Luthfie Syam mengatakan, salah satu upaya menekan angka putus sekolah adalah meningkatkan aksesibilitas menuju sekolah. Selain itu menggelar pendidikan kelas jauh, kelas terbuka, dan kelas satu atap.
Namun, pendidikan formal semacam itu diakuinya tetap tidak bisa menutup lubang-lubang tersisa yang sebagiannya telah berhasil ditutup lewat program Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Maka, Disdik membentuk pendidikan non-formal lewat 46 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar di 40 kecamatan untuk menjaring peserta mengikuti program kejar paket A, B, dan C. ”Sekarang ada KIP. Tapi masih ada saja lubang yang tertinggal dan itu kami tutupi dengan pendidikan non-formal,” kata Luthfie.
Ia menilai, Kabupaten Bogor memiliki keunikan tersendiri, yakni luas wilayah yang demikian besar dan jumlah penduduk yang banyak, turut menjadi faktor tingginya anak putus sekolah. Belum lagi, kekuatan ekonomi keluarga yang terbilang lemah.
”Makanya kami kejar aksesibilitasnya. Sudah mah keluarganya susah, sekolah pun jauh. Masalah ekonomi di sini bukan karena biaya sekolah. Tapi untuk transportasinya,” ungkapnya.
Selain itu, disdik juga bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menekan angka putus sekolah. Seperti tokoh masyarakat, MUI, serta pesantren. Sebagai catatan, angka putus sekolah Pemkab Bogor pada 2016, tercatat 3.941 anak di setiap jenjang (SD-SMA). Kemudian, angka itu turun 1.000 siswa pada 2017. Artinya, masih tersisa ribuan anak yang putus sekolah.(wil/c)
Sumber : Radar Bogor
from ENTER BOGOR https://ift.tt/2InCUm0
0 komentar:
Posting Komentar